Wednesday, 5 December 2012

Ulumul Hadist (Kodifikasi Hadist)


A. Latar Belakang Munculnya Usaha Kodifikasi Hadist

    Pada abad pertama Hijriah sampai hingga akhir abad petama Hijriah, hadist-hadist itu berpindah dari mulut kemulut, masing-masing perawi meriwayatkannya berdasarkan kepada kekuatan hapalannya. Saat itu mereka belum mempunyai motif yang kuat untuk membukukan hadist, karna hapalan mereka terkenal kuat.
Namun demikian, upaya perubahan dari hapalan menjadi tulisan sebenarnya sudah bekembang disaat masa Nabi. Setelah Nabi wafat, pada masa Umar Bin Khattab menjadi Khalifah ke-2 juga merencanakan meghimpun hadist-hadist Rasul dalam satu kitab, namun tidak diketahui mengapa niat itu batal atau urung dilaksanakan.

Dikala kendali Khalifah dipegang oleh Umar Bin Abdul Aziz yang dinobatkan dalam tahun 99 Hijriah, seorang khalifah dari Dinasti Umaiyah yang terkenal adil dan wara’, sehingga beliau dikenal sebagai Khalifah Rasyidin yang kelima, tergerak hatinya membukukan hadist karna dia khawatir para perawi yang membendaharakan hadist didalam dadanya telah banyak yang meninggal, apabila tidak dibukukan akan lenyap dan dibawa oleh para penghafalnya kedalam alam barzah dan juga semakin banyak kegiatan pemalsuan hadist yang dilakukan yang dilatar belakangngi oleh perbedaan politik dan perbedaan mazhab dikalangan umat islam dan semakin luasnya daerah kekuasaan islam maka semakin komplek juga permasalahan yang dihadapi umat islam.

B.Pelopor Gerakan Kodifikasi Hadist dan kitab-kitab Hadist Abad II Hijriah
    
Sejarah penghimpunan hadist secara resmi dan massal baru terjadi setelah Khalifah Umar Bin Abdul Aziz memerintahkan kepada ulama dan para tokoh masyarakat untuk menuliskannya. Dikatakan resmi karena itu merupakan kebijakan kepala negara dan dikatakan massal karena perintah diberikan kepada para gubernur dan ahli hadist.
Diantara gubernur madinah yang menerima instruksi untuk mengumpulkan dan menuliskan hadist yaitu Abu Bakar ibn Hazm, Umar Bin Abdul Azis berkata kepada Hazm :

Perhatikanlah apa yang bisa diambil dari hadist Rasulullah dan catatlah, saya khawatir akan lenyapnya ilmu ini setelah ulama wafat”1 dan dalam intruksi tersebut Umar memerintahkan Ibn Hazm untuk menuliskan dan menuliskan hadist .Ibn Hasim melaksanakan tugasnya dengan baik, dan tugas yang serupa juga dilaksanakan oleh Muhammad Ibn Syiihab Al– Zuhri.(w.124 H), seorang ulama besar di Hijasz dan Syam, kedua ulama diataslah sebagai pelopor dalam kodifikasi hadist berdasarkan perintah Khalifah Umar ibn Abdul Aziz.
Sistem pembukuan Hadist pada awal pembukuannya agaknya hanya sekedar mengumpulkan saja tampa Meskipun Ibn Hazm dan Al Zuhri telah berhasil menghimpun dan mengkodifikasi hadist, akan tetapi kerja mperdulikan selektifitas terhadap susunan Hadist Nabi, apakah termasuk didalamnya fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in,“Ulama diperiode ini cendrung mencampur adukkan antara hadist Nabi dengan Fatwa Sahabat dan Tabi’in, mereka belum mengklasifikasikan kandungan nash-nash menurut kelompoknya”2
Dengan demikian pembukuan hadist pada masa ini boleh dikatakan cendrung masih bercampur baur antara hadist dengan fatwa sahabat dan tabi’in.

Fungsi keutamaan ilmu hadist dan usul hadist

Sebelum kita mengetahui keutamaan ilmu hadist ,kita sebaiknya kita mengetahui dfinisi dari ilmu hadist.Secara bahasa Hadits mempunyai arti “Baru”, “Dekat”, atau “Berita”. Makna yang terakhir inilah yang dipakai oleh para ulama untuk mendifinisikan Hadits sebagai : “Segala ucapan, perbuatan, keadaan, serta perilaku dan ketetapan (peneguhan) Nabi Muhammad S.A.W. atas berbagai peristiwa.”
Disamping itu ada beberapa istilah sinonim yang sering dipakai oleh berbagai kalangan Ulama untuk menyebut Hadits, yakni Khabar, Sunnah, dan atsar. Secara bahasa arti khabar adalah “Berita”, Sunnah berarti “Jalan”, dan atsar berarti “Bekas” atau bisa juga “Nukilan”.

Namun ada juga Ulama yang membedakan istilah “Khabar” dan “Atsar” tersebut dengan Hadits. Khabar di katakan sebagai “Segala sesuatu yang disandarkan atau berasal dari Nabi S.A.W. maupun selain Nabi S.A.W. bisa dari kalangan sahabat atau tabiin”. Sedangkan Atsar dipakai untuk perkataan-perkataan selain Nabi SAW, yakni ; sahabat, tabiin, ulama salaf, dan lain sebagainya”. Maka ada baiknya kita memperhatikan penggunaan istilah-istilah tersebut ketika mendengar atau membaca buku-buku keagamaan.


Sesuai difinisinya ada tiga macam hadits :

1. Hadits yang berupa perkataan (Qauliyah),
contohnya, sabda Nabi SAW ; "Orang mukmin dengan orang mukmin lainnya bagaikan sebuah bangunan, yang satu sama lain saling menguatkan." (HR. Muslim)

2. Hadits yang berupa perbuatan (fi’liyah)
mencakup perilaku beliau, seperti tata cara shalat, puasa, haji, dsb. Berikut contoh haditsnya, Seorang sahabat berkata : “Nabi SAW menyamakan (meluruskan) saf-saf kami ketika kami melakukan shalat. Apabila saf-saf kami telah lurus, barulah Nabi SAW bertakbir.” (HR. Muslim)

3. Hadits penetapan (taqririyah)
yaitu berupa penetapan atau penilaian Nabi SAW terhadap apa yang diucapkan atau dilakukan para sahabat yang perkataan atau perbuatan mereka tersebut diakui dan dibenarkan oleh Nabi SAW. contohnya hadits berikut, seorang sahabat berkata ; “Kami (Para sahabat) melakukan shalat dua rakaat sesudah terbenam matahari (sebelum shalat maghrib), Rasulullah SAW terdiam ketika melihat apa yang kami lakukan, beliau tidak menyuruh juga tidak melarang kami ” (HR. Muslim)
Berdasarkan sumbernya hadits ada dua macam ; Yaitu hadits qudsi dan hadits nabawi. Hadits qudsi, disebut juga dengan istilah hadits Ilahi atau hadits Rabbani, adalah suatu hadits yang berisi firman Allah SWT yang disampaikan kepada Nabi SAW, kemudian Nabi SAW menerangkannya dengan menggunakan susunan katanya sendiri serta menyandarkannya kepada Allah SWT. Dengan kata lain, hadits qudsi ialah hadits yang maknanya berasal dari Allah SWT, namun lafalnya berasal dari Nabi SAW. Sedangkan hadits nabawi, yaitu hadits yang lafal maupun maknanya berasal dari Nabi Muhammad SAW sendiri.

Keutamaan ilmu hadist
Hadits adalah sumber hukum kedua agama Islam sesuai firman Allah SWT "apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya."QS Al-Hasyr ; 7 & "Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."QS Ali Imran ; 31 Allah memerintahkan kita untuk menaati Rasul SAW sebagaimana menaati Allah SWT.
Suatu hadits mengandung tiga unsur ; yakni rawi (yang meriwayatkan hadits), sanad (sandaran hadits), dan matan (teks hadits).

RAWI
Rawi ialah orang yang menyampaikan atau menuliskan hadits dalam suatu kitab yang pernah didengarnya atau diterima dari seseorang (gurunya). Menyampaikan hadits disebut merawikan hadits.

SANAD
Sanad adalah jalan yang menyampaikan kita pada matan hadits atau rentetan para rawi yang menyampaikan matan hadits. Misalnya Imam Buchory memberitakan dari tabiin (murid seorang sahabat Nabi SAW) A yang mendengar dari sahabat B yang mendengar dari sahabat C yang mendengar Nabi bersabda.....dst. pada contoh tersebut rentetan mulai dari Imam Buchory sampai sahabat (C) disebut sanad.

MATAN
Adapun matan adalah materi atau teks hadits atau isi suatu hadits, berupa ucapan, perbuatan, dan takrir, yang terletak setelah sanad terakhir. Matan dikatakan juga sabda Nabi SAW yang dinyatakan setelah menyebutkan sanad.

Keutamaan ilmu hadist terhadap al-quran
Al-Quran menekankan bahwa Rasul SAW. berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah (QS 16:44). Penjelasan atau bayan tersebut dalam pandangan sekian banyak ulama beraneka ragam bentuk dan sifat serta fungsinya.
Al-qur`an dan hadist merupakan dua sumber yang tidak bisa dipisahkan. Keterkaitan keduanya tampak antara lain:

a. Hadist menguatkan hukum yang ditetapkan Al-qur`an.
Di sini hadits berfungsi memperkuat dan memperkokoh hukum yang dinyatakan oleh Al-quran. Misalnya, Al-quran menetapkan hukum puasa, dalam firman-Nya :“Hai orang – orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang – orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” . (Q.S AL BAQARAH/2:183)
Dan hadits menguatkan kewajiban puasa tersebut:
Islam didirikan atas lima perkara : “persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah , dan Muhammad adalah rasulullah, mendirikan shalat , membayar zakat , puasa pada bulan ramadhan dan naik haji ke baitullah.” (H.R Bukhari dan Muslim)
b. Hadits memberikan rincian terhadap pernyataan Al qur`an yang masih bersifat global.
Misalnya Al-qur`an menyatakan perintah shalat : “Dan dirikanlah oleh kamu shalat dan bayarkanlah zakat” (Q.S Al Baqarah /2:110) shalat dalam ayat diatas masih bersifat umum, lalu hadits merincinya, misalnya shalat yang wajib dan sunat. sabda Rasulullah SAW: Dari Thalhah bin Ubaidillah : bahwasannya telah datang seorang Arab Badui kepada Rasulullah SAW. dan berkata : “Wahai Rasulullah beritahukan kepadaku salat apa yang difardukan untukku?” Rasul berkata : “Salat lima waktu, yang lainnya adalah sunnat” (HR.Bukhari dan Muslim)
Al-qur`an tidak menjelaskan operasional shalat secara rinci, baik bacaan maupun gerakannya. Hal ini dijelaskan secara terperinci oleh Hadits, misalnya sabda Rasulullah SAW:“Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Bukhari)
c. Hadits membatasi kemutlakan ayat Al qur`an.
Misalnya Al qur`an mensyariatkan wasiat: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan tanda–tanda maut dan dia meninggalkan harta yang banyak, berwasiatlah untuk ibu dan bapak karib kerabatnya secara makruf. Ini adalah kewajiban atas orang–orang yang bertakwa,” (Q.S Al Baqarah/2:180)
Hadits memberikan batas maksimal pemberian harta melalui wasiat yaitu tidak melampaui sepertiga dari harta yang ditinggalkan (harta warisan). Hal ini disampaikan Rasul dalam hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Sa`ad bin Abi Waqash yang bertanya kepada Rasulullah tentang jumlah pemberian harta melalui wasiat. Rasulullah melarang memberikan seluruhnya, atau setengah. Beliau menyetujui memberikan sepertiga dari jumlah harta yang ditinggalkan.
d. Hadits memberikan pengecualian terhadap pernyataan Al Qur`an yang bersifat umum. 
Misalnya Al-qur`an mengharamkan memakan bangkai dan darah:“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, daging yang disembelih atas nama selain Allah , yang dicekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang dimakan binatang buas kecuali yang sempat kamu menyembelihnya , dan yang disembelih untuk berhala. Dan diharamkan pula bagimu mengundi nasib dengan anak panah, karena itu sebagai kefasikan. (Q.S Al Maidah /5:3)
Hadits memberikan pengecualian dengan membolehkan memakan jenis bangkai tertentu (bangkai ikan dan belalang ) dan darah tertentu (hati dan limpa) sebagaimana sabda Rasulullah SAW:Dari Ibnu Umar ra.Rasulullah saw bersabda : ”Dihalalkan kepada kita dua bangkai dan dua darah . Adapun dua bangkai adalah ikan dan belalang dan dua darah adalah hati dan limpa.”(HR.Ahmad, Syafii`,Ibn Majah ,Baihaqi dan Daruqutni)
e. Hadits menetapkan hukum baru yang tidak ditetapkan oleh Al-qur`an. 
Al-qur`an bersifat global, banyak hal yang hukumnya tidak ditetapkan secara pasti .Dalam hal ini, hadits berperan menetapkan hukum yang belum ditetapkan oleh Al-qur`an, misalnya hadits dibawah ini: Rasulullah melarang semua binatang yang bertaring dan semua burung yang bercakar (HR. Muslim dari Ibn Abbas)
‘Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar, dalam bukunya Al-Sunnah fi Makanatiha wa fi Tarikhiha menulis bahwa Sunnah atau Hadits mempunyai fungsi yang berhubungan dengan Al-Quran dan fungsi sehubungan dengan pembinaan hukum syara’. Dengan menunjuk kepada pendapat Al-Syafi’i dalam Al-Risalah, ‘Abdul Halim menegaskan bahwa, dalam kaitannya dengan Al-Quran, ada dua fungsi Al-Sunnah yang tidak diperselisihkan, yaitu apa yang diistilahkan oleh sementara ulama dengan bayan ta’kid dan bayan tafsir. Yang pertama sekadar menguatkan atau menggarisbawahi kembali apa yang terdapat di dalam Al-Quran, sedangkan yang kedua memperjelas, merinci, bahkan membatasi, pengertian lahir dari ayat-ayat Al-Quran.

E. PERBANDINGAN HADITS DENGAN AL-QUR’AN
Hadits dalam islam merupakan sumber hukum kedua dan kedudukannya setingkat lebih rendah daripada Al-quran
Al-quran adalah kalamullah yang diwahyukan Allah SWT lewat malaikat Jibril secara lengkap berupa lafadz dan sanadnya sekaligus, sedangkan lafadz hadits bukanlah dari Allah melainkan dari redaksi Nabi sendiri.
Dari segi kekuatan dalilnya, Al-quran adalah mutawatir yang qot’i, sedangkan hadits kebanyakannya khabar ahad yang hanya memiliki dalil zhanni. Sekalipun ada hadits yang mencapai martabat mutawattir namun jumlahnya hanya sedikit.
Membaca Al-Qur’an hukumnya adalah ibadah, dan sah membaca ayat-ayatnya di dalam sholat, sementara tidak demikian halnya dengan hadits. Para sahabat mengumpulkan Al-quran dalam mushaf dan menyampaikan kepada umat dengan keadaan aslinya, satu huruf pun tidak berubah atau hilang. Dan mushaf itu terus terpelihara dengan sempurna dari masa ke masa.
Sedangkan hadits tidak demikian keadaannya, karena hadits qouli hanya sedikit yang mutawatir. Kebanyakan hadits yang mutawatir mengenai amal praktek sehari-hari seperti bilangan rakaat shalat dan tata caranya. Al-quran merupakan hukum dasar yang isinya pada umumnya bersifat mujmal dan mutlak. Sedangkan hadits sebagai ketentuan-ketentuan pelaksanaan (praktisnya).
Hadits juga ikut menciptakan suatu hukum baru yang belum terdapat dalam al-quran seperti dalam hadits yang artinya :
Hadits dari Abi Hurairoh R.A dia berkata, Rasulullah SAW bersabda “Tidaklah halal mengumpulkan antara seorang perempuan dengan bibinya (saudara bapa yang perempuan) dan tidak pula antara seorang perempuan dengan bibinya (saudara ibu yang perempuan). (H.R. Bukhari dan Muslim).

Kedudukan Hadits Terhadap Al-Quran
Kedudukan hadis dari segi statusnya sebagai dalil dan sumber ajaran Islam, menurut jumhur ulama, adalah menempati posisi kedua setelah Al-Qur’an. Hal tersebut terutama ditinjau dari segi wurut atau tsubutnya Al- Qur’an adalah barsifat Qat’i.
Sedangkan hadis, kecuali yang berstatus mutawatir, sifatnya adalah Zhanni al-wurut. Oleh karnanya, yang bersifat qath’i (pasti) didahulukan dari pada yang zhanni (relative). Untuk lebih jelasnya, berikut akan diuraikan argument yang dikemukakan para ulama tentang posisi hadis terhadap Al-Qur;an tersebut :
  1. Al-Qur’an dengan sifatnya qath’i al-wurut (keberadaannya yang pasti dan diyakini), baik secara ayat perayat maupun secara keseluruhan, sudah seharusnyalah kedudukannya lebih tinggi dari pada hadis yang statusnya secara hadis perhadis, kecuali yang berstatus mutawatir, adalah bersifat al-Wurud.
  1. Hadis berfungsi sebagai penjelas dan panjabar (bayan) terhap AL-Qur’an. Ini adalah dijelaskan (al-mubayyan), yakni AL-Qur’an, kedudukannya adalah lebih tinggi dari pada penjelasan (al-bayan), yakni Hadis. Secara logis dapat dipahami bahwa penjelas (al-bayan) tidak perlu jika ada sesuatu yang dijelaskan (al-mubayyan) tidak ada: akan tetapi jika tidak ada  al-bayan hal itu tidak berati bahwa al-mubayyan juga tidak ada. Dngan demikian, eksentesi dan keberadaan Hadis sebagai al-bayan tergantung kepada eksistensi AL-Qur’an sebagai al-mubayyan, dan hal ini menujukkan di dahulukannyan AL-Qr’an dari Hadis dalam hal status dan tingkatannyan. 
  1. Sikap para sahabat yang merujuk kepada AL-Qur’an terlebih dahulu apa bila mereka bermaksud mencari jalan kelaur atas sautu masalah, ban jika dalam A;-Qur’an tidak ditemu penjelasannya, barulah mereka berujuk kepada AL-Sunnah yang mereka ketahui, atau menayakan Hadis kepada sahabat yang lain.
  1. Hadis Mu’adz secara tegas menayakan urutan kedudukan antaraAL-Qur’an dan AL-Sunnah (Hadis) sebagai berikut:
Artinya: bahwasanya tatkala Rasulullah SAW hendak mengutus Mu’adz ibn Jabal ke yaman, beliu bertanya kepada Mu’adz ”Bagaimana engkau memutuskan perkara jika diaju kepadamu?” Maka Mu’adz menjawab, “Aku akan memutuskan berdasarkan kepada kitab Allah (AL-Qur’an).” Rasul bertanya lagi, “apa bila engkau tidak menemukan jawabannya di dalam kitab Allah?” Mu’adz berkata, “Aku akan memutuskannya dengan Sunnah.” Rasul selanjutnya bertanya, ”Bagaimana kalau engkau tidak menemukannya di dalam Sunnah dan tidak didalam kitab Allah?” Mu’adz menjawab, “aku akan berijtihan dengan memperguna akalku.” Rasul SAW menepuk dada Mu’adz seraya berkata, “Alhamdulillah atas taufik yang dianugrahkan Allah kepada utusan Rasul-Nya.

Argument diatas menjelaskan bahwa kedudukan hadis nabi SAW berada pada peringkat kedua setelah Al-qur’an. Meskipun demikia, hal tersebut tilaklah mengurangi nilai Hadis, karena keduanya” pada hakikatnya berasal dari wahyu Allah SWT . karenanya keduanya adalah seiring dan sejalan. Banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan dan memerintahka agar kita bersikap patuh dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya,. Dan kepatuhan kita kepada Rasul-Nya adalah bukti atas kepatuhan kita kepada Allah SWT.
Tentang hubungan Al-Qur’an dengan hadis ini ibn Hazmi berkomentar  bahwa ketika kita menjelaskan Al-Qur’an sebagai sumber hokum syara’, maka didalam Al-Qur’an itu sendiri terdapat keterangan Allah SWT  yang mewjibkan kita taat kepada Rasul-Nya dan berhubungan dengan hokum syara’ pada dasarnya  adalah wahyu yang dating dari Alla SWT juga  hal tersebut termuat didalam firman Allah, dalam surat Al- Najm ayat: 3-4 : yang artinya sebagai beirkut:
“ Dan tiadalah yang diucapkan beliau (Rasulullah SWT) itu bersumber dari  hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain adalah wahyu yang diwahyukan (AllahSWT) kepadanya”.
Dari pernyataan diatas dapat dipahami bahwa , Wahyu yanhg dating daru Allah SAW serta disampaikan-Nya kepada RasulSAW terbagi dua, yaitu:
Pertama           : wahyu yang matlu, yang bersifat mukjizat, yaitu AL-Qur’an al-karim.
Kedua             : wahyu yang marwi dan ghayr matluw, yang tidak bersifat mukjizat, yaitu khabar yang datang dari RasulSAW yang berfungsi menjelaskan apap yang datang dari Allah SWT, sebagaimana dinyatakan Allah di dalam firman-Nya dalam surat AL-Nahl: 44:
Yang Artinya:
. . . . agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturun kepada mereka . . .
Allah SWT telah mewajibkan umat islam untuk mentaati wahyu dalam bentuknya yang kedua ini (yaitu Hadis atau Sunnah), sebagaimana mentaati wahyu dalam bentuknya yang pertama (AL-Qur’an) tampa membedakannya dalam hal mentaatinya.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkannya bahwa AL-Qur’an dan Sunnah adalah dua sumber hokum syara’ yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Tidak mungkin seseorang untuk memehami hukum syara’ secara baik kecuali dengan merujuk kepada keduanya.
Ibn Qayyim al-jawziyyah ketika mengotari ayat Allah dalam surat AL-Nisa’: 59 yang artinya:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah  Rasul SWA, dan ulil amri diantara kamu. Maka jika kamu berlainan pendapat sesuatu, kembalikanlah permasalahan tersebut kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah), ,jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kenudian. Yang demikian itu lebih utama ( bagimu )dan lebih baik akibatnya”.
Dia (ibn Qayyim) berkata, bahwa perintah Allah nuntuk menaatinya dan menaati rasulnya tampak jelas dari pengulanagan kata-kata tha’at yang mendahului kata Allah dan rasul. Hal tersebut adalah sebagai pemberitahuan bahwa menaati Rasul SAW adalah Wajib secara mutlak, baik yang diperintahkan Rasul SAW itu sesuatu yang terdapat didalam Al-Qur’an maupun karena kepada Rasul SAW telah Allah berikan sebuah kitab, yaitun Al-Qur’an Al-karim, dan yang sama dengannya, yaitu sunnah .  

FUNGSI HADITS TERHADAP AL-QUR’AN

Sebagaimana yang telah dijelaskan dimuka, bahwa pada dasarnya hadis Nabi SAW adalah sejalan denbgan Al-Qur’an, karena keduanya bersumber dari Wahyu. Menurut Al- syathibi, tidak ada satupun permasalahan yang dibicarakan oleh hadis kecuali maknanya telah ditunjukka oleh Al-Qur’an, baik secara umum (ijmali) atau secara terperinci (tafshili). Lebih lanju Al- Syathibi menegaskan, bahwa  firma Allah dalam surat al qalam ayat 4 telah menjelaskan tentang kepribadian Rasul SAW sebagai berikut:
Yang artinya:
” Dan sesungguhnya engkau benar-banar berbudi pekerti yang agung”.
Dalam menafsirkan ayat di atas, ‘A’isyah r.a. mengatakan : Sesungguh akhlaknya (Nadi SAW) adalah AL-Qur’an.
Atas dasar itu, menurut AL-Syathibi, dapat disimpulkan bahwa seluruh perkataan, perbuatan, dan taqrir Rasul SAW adalah mrujuk kepada dan sumber dari AL-Qur’an al-Karim.
Meskipun demikian, dibangdingkan dengan AL-Qur’an, sebagai besar Hadis adalah lebih bersifat operasional, karena fungsi utama Hadis Nabi SAW adalah untuk sebagai penjelas (al-bayan) terhada ayat-ayat AL-Qur’an.
Di dalam  Al-Qur’an  surat Al-Nahl ayat 44 Allah SWT menjelaskan :
Artinya :
Dan kami turunkan kepada engkau Al-Dzikr {Al-Qur’an }supaya engkau menjelaskan kepada manusia apa-apa yng telah dirunkan kepada mereka mudah-mudahan mereka berfikir.

Secara garis besar, fungsi hadis terhadap Al-Qur’an dapat dibagi tiga :
1. Menegaskan kembali keterangan atau perintah yang terdapat dalam Al-Qur’an, yang sering disebut dengan fungsi bayan taqri. Dalam hadis dating dengan keterangan atau perintah yang sejalan dengan kandungan ayat Al-Qur’an, bahkan persis sama, baik dari segi keumumannya  (mujmal) maupun perinciannya (tafshil) .seperti, keterangan Rasul SAW mengenai kewajiban salat,puasa, zakat dan lainnyayang termuat dalam hadis beliau,yaitu:
Dibangun islam atas lima (fondasi)yaitu : kesaksian bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad itu adalah Rasulullah, mendirikan salat, bemberi zakat, berpuasa pada bulan ramadhan, menunaikan haji bagi yang telah mampu”.
Hadis ini berfungsi untuk menegaskan kembali (men-taqrir) ayat-ayat berikut ;
( Al-Baqarah : 83)
Artinya:
…..Dan dirikanlah olehmu salat dan bayarkanlah zakat…….
( Al-imran : 97)
Artinya:
…..megerjakan haji suatu kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang-orang yang sanggup mengadakan perjalanan kebautullah ……
Dengan kata lain, hadis dalam hal ini hanya megungkapkan kembali apa yang telah yang dimuat dan tertera didalam Al-Qur’an, tanpa menambah atau menjelaskan apa yang termuat didalam ayat-ayat tersebut.

No comments:

Post a Comment

Semoga Bermanfaat bagi pembaca sekalia.. .

Lailahaillallah.. Muhammadurrasulullah..

Lailahaillallah.. Muhammadurrasulullah..

SLIDER WIDGET