A.
Latar Belakang Munculnya Usaha
Kodifikasi Hadist
Pada abad
pertama Hijriah sampai hingga akhir abad petama Hijriah, hadist-hadist itu
berpindah dari mulut kemulut, masing-masing perawi meriwayatkannya berdasarkan
kepada kekuatan hapalannya. Saat itu mereka belum mempunyai motif yang kuat
untuk membukukan hadist, karna hapalan mereka terkenal kuat.
Namun demikian, upaya perubahan dari hapalan menjadi
tulisan sebenarnya sudah bekembang disaat masa Nabi. Setelah Nabi wafat, pada
masa Umar Bin Khattab menjadi Khalifah ke-2 juga merencanakan meghimpun
hadist-hadist Rasul dalam satu kitab, namun tidak diketahui mengapa niat itu
batal atau urung dilaksanakan.
Dikala kendali Khalifah dipegang oleh Umar Bin Abdul
Aziz yang dinobatkan dalam tahun 99 Hijriah, seorang khalifah dari Dinasti
Umaiyah yang terkenal adil dan wara’, sehingga beliau dikenal sebagai Khalifah
Rasyidin yang kelima, tergerak hatinya membukukan hadist karna dia khawatir
para perawi yang membendaharakan hadist didalam dadanya telah banyak yang
meninggal, apabila tidak dibukukan akan lenyap dan dibawa oleh para
penghafalnya kedalam alam barzah dan juga semakin banyak kegiatan pemalsuan
hadist yang dilakukan yang dilatar belakangngi oleh perbedaan politik dan
perbedaan mazhab dikalangan umat islam dan semakin luasnya daerah kekuasaan
islam maka semakin komplek juga permasalahan yang dihadapi umat islam.
B.Pelopor Gerakan Kodifikasi Hadist dan kitab-kitab
Hadist Abad II Hijriah
Sejarah
penghimpunan hadist secara resmi dan massal baru terjadi setelah Khalifah Umar
Bin Abdul Aziz memerintahkan kepada ulama dan para tokoh masyarakat untuk menuliskannya.
Dikatakan resmi karena itu merupakan kebijakan kepala negara dan dikatakan
massal karena perintah diberikan kepada para gubernur dan ahli hadist.
Diantara gubernur madinah yang menerima instruksi
untuk mengumpulkan dan menuliskan hadist yaitu Abu Bakar ibn Hazm, Umar Bin
Abdul Azis berkata kepada Hazm :
“Perhatikanlah
apa yang bisa diambil dari hadist Rasulullah dan catatlah, saya khawatir akan lenyapnya ilmu ini setelah ulama
wafat”1 dan dalam intruksi tersebut Umar memerintahkan Ibn Hazm untuk
menuliskan dan menuliskan hadist .Ibn Hasim melaksanakan tugasnya dengan baik,
dan tugas yang serupa juga dilaksanakan oleh Muhammad Ibn Syiihab Al–
Zuhri.(w.124 H), seorang ulama besar di Hijasz dan Syam, kedua ulama diataslah
sebagai pelopor dalam kodifikasi hadist berdasarkan perintah Khalifah Umar ibn
Abdul Aziz.
Sistem pembukuan Hadist pada awal pembukuannya
agaknya hanya sekedar mengumpulkan saja tampa Meskipun Ibn Hazm dan Al Zuhri
telah berhasil menghimpun dan mengkodifikasi hadist, akan tetapi kerja
mperdulikan selektifitas terhadap susunan Hadist Nabi, apakah termasuk
didalamnya fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in,“Ulama diperiode ini cendrung mencampur
adukkan antara hadist Nabi dengan Fatwa Sahabat dan Tabi’in, mereka belum
mengklasifikasikan kandungan nash-nash menurut kelompoknya”2
Dengan demikian pembukuan hadist pada masa ini boleh
dikatakan cendrung masih bercampur baur antara hadist dengan fatwa sahabat dan
tabi’in.
Fungsi keutamaan ilmu hadist dan usul hadist
Sebelum
kita mengetahui keutamaan ilmu hadist ,kita sebaiknya kita mengetahui dfinisi
dari ilmu hadist.Secara bahasa Hadits mempunyai arti “Baru”, “Dekat”, atau
“Berita”. Makna yang terakhir inilah yang dipakai oleh para ulama untuk
mendifinisikan Hadits sebagai : “Segala ucapan, perbuatan, keadaan, serta
perilaku dan ketetapan (peneguhan) Nabi Muhammad S.A.W. atas berbagai
peristiwa.”
Disamping
itu ada beberapa istilah sinonim yang sering dipakai oleh berbagai kalangan
Ulama untuk menyebut Hadits, yakni Khabar, Sunnah, dan atsar. Secara bahasa
arti khabar adalah “Berita”, Sunnah berarti “Jalan”, dan atsar berarti “Bekas”
atau bisa juga “Nukilan”.
Namun
ada juga Ulama yang membedakan istilah “Khabar” dan “Atsar” tersebut dengan
Hadits. Khabar di katakan sebagai “Segala sesuatu yang disandarkan atau berasal
dari Nabi S.A.W. maupun selain Nabi S.A.W. bisa dari kalangan sahabat atau
tabiin”. Sedangkan Atsar dipakai untuk perkataan-perkataan selain Nabi SAW,
yakni ; sahabat, tabiin, ulama salaf, dan lain sebagainya”. Maka ada baiknya
kita memperhatikan penggunaan istilah-istilah tersebut ketika mendengar atau
membaca buku-buku keagamaan.
Sesuai
difinisinya ada tiga macam hadits :
1.
Hadits yang berupa perkataan (Qauliyah),
contohnya, sabda Nabi SAW ; "Orang mukmin dengan orang mukmin lainnya
bagaikan sebuah bangunan, yang satu sama lain saling menguatkan." (HR.
Muslim)
2.
Hadits yang berupa perbuatan (fi’liyah)
mencakup perilaku beliau, seperti tata cara shalat, puasa, haji, dsb. Berikut
contoh haditsnya, Seorang sahabat berkata : “Nabi SAW menyamakan
(meluruskan) saf-saf kami ketika kami melakukan shalat. Apabila saf-saf kami
telah lurus, barulah Nabi SAW bertakbir.” (HR. Muslim)
3.
Hadits penetapan (taqririyah)
yaitu berupa penetapan atau penilaian Nabi SAW terhadap apa yang diucapkan atau
dilakukan para sahabat yang perkataan atau perbuatan mereka tersebut diakui dan
dibenarkan oleh Nabi SAW. contohnya hadits berikut, seorang sahabat berkata ; “Kami
(Para sahabat) melakukan shalat dua rakaat sesudah terbenam matahari (sebelum
shalat maghrib), Rasulullah SAW terdiam ketika melihat apa yang kami lakukan,
beliau tidak menyuruh juga tidak melarang kami ” (HR. Muslim)
Berdasarkan
sumbernya hadits ada dua macam ; Yaitu hadits qudsi dan hadits nabawi. Hadits
qudsi, disebut juga dengan istilah hadits Ilahi atau hadits Rabbani, adalah
suatu hadits yang berisi firman Allah SWT yang disampaikan kepada Nabi SAW,
kemudian Nabi SAW menerangkannya dengan menggunakan susunan katanya sendiri
serta menyandarkannya kepada Allah SWT. Dengan kata lain, hadits qudsi ialah
hadits yang maknanya berasal dari Allah SWT, namun lafalnya berasal dari Nabi
SAW. Sedangkan hadits nabawi, yaitu hadits yang lafal maupun maknanya berasal
dari Nabi Muhammad SAW sendiri.
Keutamaan
ilmu hadist
Hadits
adalah sumber hukum kedua agama Islam sesuai firman Allah SWT "apa yang
diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka
tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras
hukumannya."QS Al-Hasyr ; 7 & "Katakanlah: "Jika kamu
(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."QS
Ali Imran ; 31 Allah memerintahkan kita untuk menaati Rasul SAW sebagaimana
menaati Allah SWT.
Suatu
hadits mengandung tiga unsur ; yakni rawi (yang meriwayatkan hadits), sanad
(sandaran hadits), dan matan (teks hadits).
RAWI
Rawi
ialah orang yang menyampaikan atau menuliskan hadits dalam suatu kitab yang
pernah didengarnya atau diterima dari seseorang (gurunya). Menyampaikan hadits
disebut merawikan hadits.
SANAD
Sanad
adalah jalan yang menyampaikan kita pada matan hadits atau rentetan para rawi
yang menyampaikan matan hadits. Misalnya Imam Buchory memberitakan dari tabiin
(murid seorang sahabat Nabi SAW) A yang mendengar dari sahabat B yang mendengar
dari sahabat C yang mendengar Nabi bersabda.....dst. pada contoh tersebut
rentetan mulai dari Imam Buchory sampai sahabat (C) disebut sanad.
MATAN
Adapun
matan adalah materi atau teks hadits atau isi suatu hadits, berupa ucapan,
perbuatan, dan takrir, yang terletak setelah sanad terakhir. Matan dikatakan
juga sabda Nabi SAW yang dinyatakan setelah menyebutkan sanad.
Keutamaan ilmu hadist terhadap
al-quran
Al-Quran menekankan bahwa Rasul SAW.
berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah (QS 16:44). Penjelasan atau
bayan tersebut dalam pandangan sekian banyak ulama beraneka ragam bentuk dan
sifat serta fungsinya.
Al-qur`an dan hadist merupakan dua
sumber yang tidak bisa dipisahkan. Keterkaitan keduanya tampak antara lain:
a. Hadist menguatkan hukum yang ditetapkan Al-qur`an.
a. Hadist menguatkan hukum yang ditetapkan Al-qur`an.
Di sini hadits
berfungsi memperkuat dan memperkokoh hukum yang dinyatakan oleh Al-quran. Misalnya,
Al-quran menetapkan hukum puasa, dalam firman-Nya :“Hai orang – orang yang
beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang – orang
sebelum kamu agar kamu bertakwa” . (Q.S AL BAQARAH/2:183)
Dan hadits menguatkan kewajiban puasa
tersebut:
Islam didirikan atas lima perkara :
“persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah , dan Muhammad adalah
rasulullah, mendirikan shalat , membayar zakat , puasa pada bulan ramadhan dan
naik haji ke baitullah.” (H.R Bukhari dan Muslim)
b. Hadits memberikan rincian
terhadap pernyataan Al qur`an yang masih bersifat global.
Misalnya Al-qur`an menyatakan perintah shalat : “Dan dirikanlah oleh kamu shalat dan
bayarkanlah zakat” (Q.S Al Baqarah /2:110) shalat dalam ayat diatas masih
bersifat umum, lalu hadits merincinya, misalnya shalat yang wajib dan sunat.
sabda Rasulullah SAW: Dari Thalhah bin Ubaidillah : bahwasannya telah datang
seorang Arab Badui kepada Rasulullah SAW. dan berkata : “Wahai Rasulullah
beritahukan kepadaku salat apa yang difardukan untukku?” Rasul berkata : “Salat
lima waktu, yang lainnya adalah sunnat” (HR.Bukhari dan Muslim)
Al-qur`an tidak menjelaskan
operasional shalat secara rinci, baik bacaan maupun gerakannya. Hal ini
dijelaskan secara terperinci oleh Hadits, misalnya sabda Rasulullah SAW:“Shalatlah
kamu sekalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Bukhari)
c. Hadits membatasi kemutlakan ayat
Al qur`an.
Misalnya Al qur`an mensyariatkan
wasiat: “Diwajibkan atas kamu, apabila
seorang diantara kamu kedatangan tanda–tanda maut dan dia meninggalkan harta
yang banyak, berwasiatlah untuk ibu dan bapak karib kerabatnya secara makruf.
Ini adalah kewajiban atas orang–orang yang bertakwa,” (Q.S Al Baqarah/2:180)
Hadits memberikan batas maksimal
pemberian harta melalui wasiat yaitu tidak melampaui sepertiga dari harta yang
ditinggalkan (harta warisan). Hal ini disampaikan Rasul dalam hadist yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Sa`ad bin Abi Waqash yang bertanya
kepada Rasulullah tentang jumlah pemberian harta melalui wasiat. Rasulullah
melarang memberikan seluruhnya, atau setengah. Beliau menyetujui memberikan
sepertiga dari jumlah harta yang ditinggalkan.
d. Hadits memberikan pengecualian
terhadap pernyataan Al Qur`an yang bersifat umum.
Misalnya Al-qur`an mengharamkan memakan bangkai dan darah:“Diharamkan
bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, daging yang disembelih atas nama
selain Allah , yang dicekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang
dimakan binatang buas kecuali yang sempat kamu menyembelihnya , dan yang
disembelih untuk berhala. Dan diharamkan pula bagimu mengundi nasib dengan anak
panah, karena itu sebagai kefasikan. (Q.S Al Maidah /5:3)
Hadits memberikan pengecualian
dengan membolehkan memakan jenis bangkai tertentu (bangkai ikan dan belalang ) dan
darah tertentu (hati dan limpa) sebagaimana sabda Rasulullah SAW:Dari Ibnu
Umar ra.Rasulullah saw bersabda : ”Dihalalkan kepada kita dua bangkai dan dua
darah . Adapun dua bangkai adalah ikan dan belalang dan dua darah adalah hati
dan limpa.”(HR.Ahmad, Syafii`,Ibn Majah ,Baihaqi dan Daruqutni)
e. Hadits menetapkan hukum baru yang
tidak ditetapkan oleh Al-qur`an.
Al-qur`an bersifat global, banyak hal yang hukumnya tidak ditetapkan secara
pasti .Dalam hal ini, hadits berperan menetapkan hukum yang belum ditetapkan
oleh Al-qur`an, misalnya hadits dibawah ini: Rasulullah melarang semua
binatang yang bertaring dan semua burung yang bercakar (HR. Muslim dari Ibn
Abbas)
‘Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh
Al-Azhar, dalam bukunya Al-Sunnah fi Makanatiha wa fi Tarikhiha menulis bahwa
Sunnah atau Hadits mempunyai fungsi yang berhubungan dengan Al-Quran dan fungsi
sehubungan dengan pembinaan hukum syara’. Dengan menunjuk kepada pendapat
Al-Syafi’i dalam Al-Risalah, ‘Abdul Halim menegaskan bahwa, dalam kaitannya dengan
Al-Quran, ada dua fungsi Al-Sunnah yang tidak diperselisihkan, yaitu apa yang
diistilahkan oleh sementara ulama dengan bayan ta’kid dan bayan tafsir. Yang
pertama sekadar menguatkan atau menggarisbawahi kembali apa yang terdapat di
dalam Al-Quran, sedangkan yang kedua memperjelas, merinci, bahkan membatasi,
pengertian lahir dari ayat-ayat Al-Quran.
E. PERBANDINGAN HADITS DENGAN
AL-QUR’AN
Hadits dalam islam merupakan sumber
hukum kedua dan kedudukannya setingkat lebih rendah daripada Al-quran
Al-quran adalah kalamullah yang
diwahyukan Allah SWT lewat malaikat Jibril secara lengkap berupa lafadz dan
sanadnya sekaligus, sedangkan lafadz hadits bukanlah dari Allah melainkan dari
redaksi Nabi sendiri.
Dari segi kekuatan dalilnya,
Al-quran adalah mutawatir yang qot’i, sedangkan hadits kebanyakannya khabar
ahad yang hanya memiliki dalil zhanni. Sekalipun ada hadits yang
mencapai martabat mutawattir namun jumlahnya hanya sedikit.
Membaca Al-Qur’an hukumnya adalah
ibadah, dan sah membaca ayat-ayatnya di dalam sholat, sementara tidak demikian
halnya dengan hadits. Para sahabat mengumpulkan Al-quran dalam mushaf dan
menyampaikan kepada umat dengan keadaan aslinya, satu huruf pun tidak berubah
atau hilang. Dan mushaf itu terus terpelihara dengan sempurna dari masa ke
masa.
Sedangkan hadits tidak demikian
keadaannya, karena hadits qouli hanya sedikit yang mutawatir.
Kebanyakan hadits yang mutawatir mengenai amal praktek sehari-hari seperti
bilangan rakaat shalat dan tata caranya. Al-quran merupakan hukum dasar yang isinya
pada umumnya bersifat mujmal dan mutlak. Sedangkan hadits sebagai
ketentuan-ketentuan pelaksanaan (praktisnya).
Hadits juga ikut menciptakan suatu
hukum baru yang belum terdapat dalam al-quran seperti dalam hadits yang artinya
:
Hadits dari Abi Hurairoh R.A dia
berkata, Rasulullah SAW bersabda “Tidaklah halal mengumpulkan antara seorang
perempuan dengan bibinya (saudara bapa yang perempuan) dan tidak pula antara
seorang perempuan dengan bibinya (saudara ibu yang perempuan). (H.R. Bukhari
dan Muslim).
Kedudukan
Hadits Terhadap Al-Quran
Kedudukan
hadis dari segi statusnya sebagai dalil dan sumber ajaran Islam, menurut jumhur
ulama, adalah menempati posisi kedua setelah Al-Qur’an. Hal tersebut terutama
ditinjau dari segi wurut atau tsubutnya Al- Qur’an adalah barsifat Qat’i.
Sedangkan
hadis, kecuali yang berstatus mutawatir, sifatnya adalah Zhanni al-wurut. Oleh
karnanya, yang bersifat qath’i (pasti) didahulukan dari pada yang zhanni
(relative). Untuk lebih jelasnya, berikut akan diuraikan argument yang dikemukakan
para ulama tentang posisi hadis terhadap Al-Qur;an tersebut :
- Al-Qur’an dengan sifatnya qath’i al-wurut (keberadaannya yang pasti dan diyakini), baik secara ayat perayat maupun secara keseluruhan, sudah seharusnyalah kedudukannya lebih tinggi dari pada hadis yang statusnya secara hadis perhadis, kecuali yang berstatus mutawatir, adalah bersifat al-Wurud.
- Hadis berfungsi sebagai penjelas dan panjabar (bayan) terhap AL-Qur’an. Ini adalah dijelaskan (al-mubayyan), yakni AL-Qur’an, kedudukannya adalah lebih tinggi dari pada penjelasan (al-bayan), yakni Hadis. Secara logis dapat dipahami bahwa penjelas (al-bayan) tidak perlu jika ada sesuatu yang dijelaskan (al-mubayyan) tidak ada: akan tetapi jika tidak ada al-bayan hal itu tidak berati bahwa al-mubayyan juga tidak ada. Dngan demikian, eksentesi dan keberadaan Hadis sebagai al-bayan tergantung kepada eksistensi AL-Qur’an sebagai al-mubayyan, dan hal ini menujukkan di dahulukannyan AL-Qr’an dari Hadis dalam hal status dan tingkatannyan.
- Sikap para sahabat yang merujuk kepada AL-Qur’an terlebih dahulu apa bila mereka bermaksud mencari jalan kelaur atas sautu masalah, ban jika dalam A;-Qur’an tidak ditemu penjelasannya, barulah mereka berujuk kepada AL-Sunnah yang mereka ketahui, atau menayakan Hadis kepada sahabat yang lain.
- Hadis Mu’adz secara tegas
menayakan urutan kedudukan antaraAL-Qur’an dan AL-Sunnah (Hadis) sebagai
berikut:
Artinya: bahwasanya tatkala Rasulullah SAW hendak mengutus Mu’adz
ibn Jabal ke yaman, beliu bertanya kepada Mu’adz ”Bagaimana engkau memutuskan
perkara jika diaju kepadamu?” Maka Mu’adz menjawab, “Aku akan memutuskan
berdasarkan kepada kitab Allah (AL-Qur’an).” Rasul bertanya lagi, “apa bila
engkau tidak menemukan jawabannya di dalam kitab Allah?” Mu’adz berkata, “Aku akan
memutuskannya dengan Sunnah.” Rasul selanjutnya bertanya, ”Bagaimana kalau
engkau tidak menemukannya di dalam Sunnah dan tidak didalam kitab Allah?”
Mu’adz menjawab, “aku akan berijtihan dengan memperguna akalku.” Rasul SAW
menepuk dada Mu’adz seraya berkata, “Alhamdulillah atas taufik yang
dianugrahkan Allah kepada utusan Rasul-Nya.”
Argument
diatas menjelaskan bahwa kedudukan hadis nabi SAW berada pada peringkat kedua
setelah Al-qur’an. Meskipun demikia, hal tersebut tilaklah mengurangi nilai
Hadis, karena keduanya” pada hakikatnya berasal dari wahyu Allah SWT .
karenanya keduanya adalah seiring dan sejalan. Banyak ayat Al-Qur’an yang
menjelaskan dan memerintahka agar kita bersikap patuh dan taat kepada Allah dan
Rasul-Nya,. Dan kepatuhan kita kepada Rasul-Nya adalah bukti atas kepatuhan
kita kepada Allah SWT.
Tentang
hubungan Al-Qur’an dengan hadis ini ibn Hazmi berkomentar bahwa ketika
kita menjelaskan Al-Qur’an sebagai sumber hokum syara’, maka didalam Al-Qur’an
itu sendiri terdapat keterangan Allah SWT yang mewjibkan kita taat kepada
Rasul-Nya dan berhubungan dengan hokum syara’ pada dasarnya adalah wahyu
yang dating dari Alla SWT juga hal tersebut termuat didalam firman Allah,
dalam surat Al- Najm ayat: 3-4 : yang artinya sebagai beirkut:
“ Dan
tiadalah yang diucapkan beliau (Rasulullah SWT) itu bersumber dari hawa
nafsunya, ucapannya itu tiada lain adalah wahyu yang diwahyukan (AllahSWT)
kepadanya”.
Dari
pernyataan diatas dapat dipahami bahwa , Wahyu yanhg dating daru Allah SAW
serta disampaikan-Nya kepada RasulSAW terbagi dua, yaitu:
Pertama
: wahyu yang matlu, yang bersifat mukjizat, yaitu AL-Qur’an al-karim.
Kedua
: wahyu yang marwi dan ghayr matluw, yang tidak
bersifat mukjizat, yaitu khabar yang datang dari RasulSAW yang
berfungsi menjelaskan apap yang datang dari Allah SWT, sebagaimana dinyatakan
Allah di dalam firman-Nya dalam surat AL-Nahl: 44:
Yang
Artinya:
“.
. . . agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturun kepada
mereka . . . “
Allah
SWT telah mewajibkan umat islam untuk mentaati wahyu dalam bentuknya yang kedua
ini (yaitu Hadis atau Sunnah), sebagaimana mentaati wahyu dalam bentuknya yang
pertama (AL-Qur’an) tampa membedakannya dalam hal mentaatinya.
Dari
penjelasan diatas dapat disimpulkannya bahwa AL-Qur’an dan Sunnah adalah dua
sumber hokum syara’ yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang
lainnya. Tidak mungkin seseorang untuk memehami hukum syara’ secara baik
kecuali dengan merujuk kepada keduanya.
Ibn
Qayyim al-jawziyyah ketika mengotari ayat Allah dalam surat AL-Nisa’: 59 yang
artinya:
”Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul SWA, dan ulil
amri diantara kamu. Maka jika kamu berlainan pendapat sesuatu, kembalikanlah
permasalahan tersebut kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah), ,jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kenudian. Yang demikian itu lebih
utama ( bagimu )dan lebih baik akibatnya”.
Dia
(ibn Qayyim) berkata, bahwa perintah Allah nuntuk menaatinya dan menaati
rasulnya tampak jelas dari pengulanagan kata-kata tha’at yang mendahului
kata Allah dan rasul. Hal tersebut adalah sebagai pemberitahuan bahwa menaati
Rasul SAW adalah Wajib secara mutlak, baik yang diperintahkan Rasul SAW itu
sesuatu yang terdapat didalam Al-Qur’an maupun karena kepada Rasul SAW telah
Allah berikan sebuah kitab, yaitun Al-Qur’an Al-karim, dan yang sama dengannya,
yaitu sunnah .
FUNGSI
HADITS TERHADAP AL-QUR’AN
Sebagaimana
yang telah dijelaskan dimuka, bahwa pada dasarnya hadis Nabi SAW adalah sejalan
denbgan Al-Qur’an, karena keduanya bersumber dari Wahyu. Menurut Al- syathibi,
tidak ada satupun permasalahan yang dibicarakan oleh hadis kecuali maknanya
telah ditunjukka oleh Al-Qur’an, baik secara umum (ijmali) atau secara
terperinci (tafshili). Lebih lanju Al- Syathibi menegaskan, bahwa firma
Allah dalam surat al qalam ayat 4 telah menjelaskan tentang kepribadian Rasul
SAW sebagai berikut:
Yang
artinya:
”
Dan sesungguhnya engkau benar-banar berbudi pekerti yang agung”.
Dalam
menafsirkan ayat di atas, ‘A’isyah r.a. mengatakan : Sesungguh akhlaknya (Nadi
SAW) adalah AL-Qur’an.
Atas
dasar itu, menurut AL-Syathibi, dapat disimpulkan bahwa seluruh perkataan,
perbuatan, dan taqrir Rasul SAW adalah mrujuk kepada dan sumber dari
AL-Qur’an al-Karim.
Meskipun
demikian, dibangdingkan dengan AL-Qur’an, sebagai besar Hadis adalah lebih
bersifat operasional, karena fungsi utama Hadis Nabi SAW adalah untuk sebagai
penjelas (al-bayan) terhada ayat-ayat AL-Qur’an.
Di
dalam Al-Qur’an surat Al-Nahl ayat 44 Allah SWT menjelaskan :
Artinya
:
Dan
kami turunkan kepada engkau Al-Dzikr {Al-Qur’an }supaya engkau menjelaskan
kepada manusia apa-apa yng telah dirunkan kepada mereka mudah-mudahan mereka
berfikir.
Secara
garis besar, fungsi hadis terhadap Al-Qur’an dapat dibagi tiga :
1.
Menegaskan kembali keterangan atau perintah yang terdapat dalam Al-Qur’an, yang
sering disebut dengan fungsi bayan taqri. Dalam hadis dating dengan keterangan
atau perintah yang sejalan dengan kandungan ayat Al-Qur’an, bahkan persis sama,
baik dari segi keumumannya (mujmal) maupun perinciannya (tafshil)
.seperti, keterangan Rasul SAW mengenai kewajiban salat,puasa, zakat dan
lainnyayang termuat dalam hadis beliau,yaitu:
”Dibangun
islam atas lima (fondasi)yaitu : kesaksian bahwa tiada tuhan selain Allah dan
bahwa Nabi Muhammad itu adalah Rasulullah, mendirikan salat, bemberi zakat,
berpuasa pada bulan ramadhan, menunaikan haji bagi yang telah mampu”.
Hadis
ini berfungsi untuk menegaskan kembali (men-taqrir) ayat-ayat berikut ;
(
Al-Baqarah : 83)
Artinya:
…..Dan
dirikanlah olehmu salat dan bayarkanlah zakat…….
(
Al-imran : 97)
Artinya:
…..megerjakan
haji suatu kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang-orang yang
sanggup mengadakan perjalanan kebautullah ……
Dengan
kata lain, hadis dalam hal ini hanya megungkapkan kembali apa yang telah yang
dimuat dan tertera didalam Al-Qur’an, tanpa menambah atau menjelaskan apa yang
termuat didalam ayat-ayat tersebut.
No comments:
Post a Comment
Semoga Bermanfaat bagi pembaca sekalia.. .